WELCOME TO MY BLOG

In this blog, you will meet some articles about Islam and some about Mathematics.

Enjoy it.

Mengenai Saya

Lampung Tengah, Lampung, Indonesia

Kamis, 09 Desember 2010

Hukum Memperingati Tahun Baru Islam

HUKUM MEMPERINGATI

TAHUN BARU ISLAM

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.

Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin.

Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at Islam?

Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini.

Pertanyaan : Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.

Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :

تخصيص الأيام، أو الشهور، أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال: «ما هذان اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى، ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة.

ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيداً محذور آخر.

كتبه محمد بن صالح العثيمين

24/1/1418 هـ

Jawab : Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat. Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah. Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“

Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.

Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka. Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.

Ditulis oleh :

Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn

24 - 1 - 1418 H

[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]

Para pembaca sekalian,

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena :

- Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.

- Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.

Oleh karena itu, wajib atas kaum muslimin agar meninggalkan kebiasaan memperingati Tahun Baru Islam. Sangat disesalkan, ada sebagian kaum muslimin berupaya menghindar dari peringatan Tahun Baru Masehi, namun mereka terjerumus pada kemungkaran lain yaitu memperingati Tahun Baru Islam. Lebih disesalkan lagi, ada yang terjatuh kepada dua kemungkaran sekaligus, yaitu peringatan Tahun Baru Masehi sekaligus peringatan Tahun Baru Islam.

Wallâhu a’lam bish shawâb

وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=290)

Kiamat 2012 Dalam Sorotan

Akhir-akhir ini, umat islam dikejutkan oleh ramalan akan datangnya kiamat pada tahun 2012. Beberapa headline pada media masa akhir-akhir ini tak ketinggalan turut meramaikannya. Sejatinya berita ini berasal dari sebuah film yang diangkat dari ramalan bangsa Maya kuno paganis dari Meksiko. Film ini bercerita tentang akan terjadinya kiamat pada 21 Desember tahun 2012. Walaupun sebenarnya ramalan kiamat dari bangsa Maya masih diperselisihkan di kalangan mereka sendiri, ibarat dongeng atau hikayat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Namun berita ini terlanjur menjadi isu di mana-mana, apalagi film ini laris bak kacang goreng dikunjungi oleh khalayak ramai di gedung-gedung bioskop.

Isu seperti ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Mengingat sebelumnya telah banyak isu-isu seputar kiamat yang dijajakan oleh para paranormal dan tukang ramal.

Masih hangat di ingatan kita ramalan hari kiamat yang terjadi pada tanggal 9 bulan 9 tahun 1999, demikian pula ramalan-ramalan lainnya. Toh, ternyata semua ramalan itu hanyalah dusta dan tidak pernah terbukti.

Walau demikian, tak bisa dipungkiri pengaruh berbagai ramalan tersebut terhadap umat islam. Bahkan diantara mereka ada yang gantung diri (setelah melihat tayangan film 2012 tersebut), di saat masih belum punya bekal untuk menghadapinya.

Bagaimanakah bimbingan islam dalam menyikapi isu tersebut? Bagaimana pula tinjauan syari’at tentang permasalahan tersebut?

Rahasia Alam Ghaib Hanya Milik Allah subhanahu wa ta’ala

Segala sesuatu yang akan terjadi di kemudian hari termasuk dari alam/ilmu ghaib. Ilmu ghaib merupakan rahasia Allah subhanahu wa ta’ala, yang tiada seorang pun sanggup menyingkap tabir rahasia tersebut. Seperti jodoh, karier, bisnis, ajal (kematian), atau seluruh yang akan terjadi di kemudian hari (meliputi peristiwa yang baik ataupun yang buruk), semuanya tersembunyi di alam ghaib, yang tidak ada yang mengetahui kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Ini adalah salah satu aqidah atau prinsip seorang muslim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Katakanlah, “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib kecuali Allah.” (An Naml: 65)

Dan dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan (artinya):

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya melainkan Dia sendiri.” (Al An’am: 59)

Malaikat, Manusia, dan Jin Tidak Mengetahui yang Ghaib

Suatu pengakuan para malaikat bahwa diri mereka tidak mengetahui sesuatu kecuali yang telah Allah subhanahu wa ta’ala ajarkan kepada mereka. Perhatikanlah bagaimana pengakuan mereka sendiri, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya):

“Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada malaikat, lalu (Allah) berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu jika kalian (wahai para malaikat) memang benar!’ mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al Baqarah: 31-32)

Begitu pula pengakuan para Nabi, bahwa mereka tidak mengetahui yang ghaib. Nabi Nuh ‘alaihis salam berkata, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala (artinya):

“Dan aku tidak mengatakan kepada kalian (bahwa): Aku mempunyai gudang-gudang rezki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak mengetahui yang ghaib.” (Hud: 31)

Demikian pula Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengatakan:

“Katakanlah: “Aku tidak mampu menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tiada lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)

Jika para malaikat yang dekat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan para nabi yang merupakan utusan Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengetahui yang ghaib, maka tentunya manusia secara umum, lebih tidak mengetahui alam ghaib.

Bangsa jin pun, juga tidak mengetahui yang ghaib. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka tentang kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau seandainya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap berada dalam siksa yang menghinakan (bekerja keras untuk Sulaiman, pen).” (Saba‘: 14)

Para pembaca rahimakumullah, kunci-kunci alam ghaib hanya berada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia. Namun, ada beberapa perkara ghaib yang Allah subhanahu wa ta’ala beritakan kepada rasul-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Dia-lah Allah Yang Maha Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkannya kepada siapa pun kecuali yang Dia ridhai dari kalangan rasul.” (Al Jin: 26-27)

Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang hal tersebut (artinya):

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kalian perkara-perkara ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya diantara para rasul-Nya.” (Ali Imran: 179)

Dengan demikian, kita kaum muslimin wajib meyakini kebenaran berita yang datang dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara yang ghaib karena itu adalah bersumber dari wahyu Allah subhanahu wa ta’ala. Dan sebaliknya, kita wajib tidak mempercayai berita tentang perkara ghaib yang datang dari selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti berita tentang akan datangnya kiamat maupun kejadian yang sangat dahsyat tahun 2012, dan yang lainnya. Karena itu adalah kedustaan belaka.

Hari Kiamat Tidak Ada Satu Makhluk pun yang Mengetahuinya

Hari kiamat termasuk dari alam ghaib. Tidak ada satu makhluk pun yang Allah subhanahu wa ta’ala beritakan kepadanya kapan terjadinya. Allah subhanahu wa ta’ala hanya memerintahkan kepada para rasul-Nya untuk menyampaikan peringatan kepada manusia akan datangnya hari kiamat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya):

“Mereka bertanya kepadamu tentang (kapan datangnya) hari kiamat. Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan tentang kapan datangnya hari kiamat itu hanyalah disisi Allah. Dan tahukah (wahai Muhammad) boleh jadi hari kiamat itu sudah dekat waktunya.” (Al Ahzab: 63)

Kiamat itu pasti akan terjadi, bahkan termasuk dari rukun-rukun iman yang enam yang wajib diimani oleh setiap muslim.

Al Imam Al Bukhari dan Al Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang dikenal dengan hadits Jibril. Suatu riwayat yang cukup panjang, memuat pertanyaan-pertanyaan Jibril kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , di antaranya, pertanyaan tentang rukun Iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وِمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“(Rukun) Iman adalah beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, (beriman kepada) hari akhir (kiamat), dan beriman kepada takdir yang baik dan yang buruk.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga ditanya, kapan datangnya hari kiamat? Beliau menjawab:

مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ

“Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui daripada yang bertanya.”

Artinya kedua-duanya sama-sama tidak mengetahui kapan hari kiamat itu akan terjadi.

فِي خَمْسٍ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ هُوَ ثُمَّ تَلاَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم :

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “…Lima perkara tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah”, Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat (artinya):

“Sesungguhnya hanya di sisi Allah tentang pengetahuan terjadinya kiamat, Dia-lah yang menurunkan hujan, mengetahui apa yang ada dalam rahim, tidak ada satu jiwa pun mengetahui apa yang dikerjakan esok harinya, dan tidak ada yang mengetahui di bumi mana dia akan mati, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)

Al Imam Al Qurthubi rahimahullah berkata: “Berdasarkan hadits ini, tidak ada celah sedikit pun bagi seseorang untuk mengetahui (dengan pasti) salah satu dari lima perkara (ghaib) tersebut (sebagaimana dalam surat Luqman).

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Ilmu tentang kapan datangnya hari kiamat tidak ada yang mengetahuinya, sekalipun nabi yang diutus dan malaikat yang paling dekat dengan Allah subhanahu wa ta’ala. (Kemudian beliau menyebutkan ayat Al A’raf: 187):

لا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلا هُوَ

“Tidak ada yang mampu menjelaskan waktu datangnya (hari kiamat) kecuali Dia (semata).”

Oleh karena itu, datangnya hari kiamat dan penentuan waktunya merupakan ketetapan dari Allah subhanahu wa ta’ala, tidak ada satu makhluk pun yang mengetahuinya kecuali Allah subhanahu wa ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala Hanya Memberitakan Tanda-tanda Hari Kiamat

Kita wajib mengimani adanya tanda-tanda hari kiamat sebelum hari kiamat tiba.

Di antara tanda-tanda kiamat kubro (besar) adalah sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

“Tidak akan terjadi hari kiamat hingga terjadi sebelumnya sepuluh tanda; terbitnya matahari dari sebelah barat, keluarnya binatang (yang bisa berbicara), keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, keluarnya Dajjal, turunnya ‘Isa bin Maryam, munculnya dukhan (asap yang meliputi manusia), terjadinya tiga longsor besar (dibenamkannya penduduk bumi) di timur, barat, dan jazirah Arab, dan yang berikutnya adalah keluarnya api dari Yaman yang menggiring manusia ke tempat berkumpulnya mereka.” (Lihat HR. Muslim no. 2901, dan Abu Dawud no. 4311)

Hadits ini sekaligus sebagai contoh perkara ghaib yang diberitakan (diwahyukan) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hari kiamat tidak akan terjadi sebelum terjadinya tanda-tanda kiamat tersebut.

Di antara aqidah yang harus diyakini oleh umat Islam adalah meyakini akan turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam ke dunia untuk menegakkan syari’at agama Islam. Beliau akan tinggal di bumi selama 40 tahun. (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, Ash Shahihah no. 2182)

Oleh sebab itu, jelaslah bagi kita bahwa tidaklah kiamat itu terjadi kecuali setelah muncul (terjadi) tanda-tandanya yang besar tersebut. Sehingga ramalan yang disandarkan kepada Bangsa Maya bahwa kiamat akan terjadi pada 21 Desember 2012 merupakan kedustaan dalam pandangan islam. Mengingat, ilmunya hanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan sekian banyak dari tanda- tandanya kiamat yang besar tersebut belum terjadi, seperti turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam dan akan tinggal di bumi selama 40 tahun.

Demikian pula, diangkatnya Imam Mahdi sebagai pemimpin tunggal kaum muslimin yang akan berkuasa selama 7 atau 8 tahun, dan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam turun pada masa kepemimpinan beliau (sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Hakim dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 711).

Hari Kiamat Hanya Akan Dirasakan oleh Sejelek-jelek Manusia

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ إِلاَّ عَلَى شِرَارِ الْخَلْقِ هُمْ شَرٌّ مِنْ أَهْلِ الْجَاهِلية

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”Tidak akan tegak hari kiamat melainkan pada sejelek-jelek makhluk dan mereka lebih jelek daripada kaum jahiliyah.” (HR. Muslim no. 1924)

Maka dari itu, di antara aqidah umat Islam pula hari kiamat tidak akan dialami oleh kaum muslimin. Ketika sudah dekat terjadinya hari kiamat, Allah subhanahu wa ta’ala mengirimkan angin untuk mematikan seluruh manusia yang masih ada dalam hatinya keimanan. (sebagaimana dalam riwayat Muslim no. 1924)

Nasehat

Para pembaca rahimakumullah, dari pembahasan di atas tadi kita dapat mengetahui bahwa kiamat pasti terjadi, dan tidak ada yang mengetahui tentang waktu terjadinya kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, semua ramalan tentang waktu terjadinya kiamat tersebut adalah batil dan dusta dalam pandangan islam yang suci ini. Namun demikian, kita semua harus berbekal dengan amalan yang diridhoi Allah subhanahu wa ta’ala. Guna mempersiapkan diri untuk menghadapinya, hari di saat semua amalan dihisab dan diberi balasan.

Akan tetapi persiapan kita bukan karena percaya atau setengah percaya terhadap ramalan tersebut diatas. Akan tetapi persiapan kita karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput kita yang kemudian setelah itu kita tidak bisa beramal lagi. Sehingga kita tidak boleh sedikitpun percaya terhadap ramalan tersebut diatas atau menganggap baik karena menyebabkan orang ingat kepada Allah dan beramal. Wallahu a’lam.

Dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan adanya seorang Arab dusun yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , kapan terjadinya hari kiamat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

مَا أَعْدَدْتَ لَهَا

“Apa yang kamu persiapkan untuk menghadapinya?”

Orang tersebut menjawab: “Kecintaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.” kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنْتَ مَعَ مَن أَحْبَبْتَ

“Kamu akan bersama orang yang kamu cintai.” (HR. Al Bukhari dan Muslim no. 2639)

Wallähu ta’älä a’lam bish showäb.

Buletin Al Ilmu Edisi 4/I/VIII/1431

(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=440)

Kamis, 14 Oktober 2010

Fenomena Pemboman,Bom Bunuh Diri,dll

Oleh
Abu Anas Ali bin Husain Abu Lauz


Sebagian anak muda dan jama’ah dakwah menerapkan matode perjuangan dengan cara pemboman terhadap bangunan pemerintah atau swasta, dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh pejabat atau yang lainnya. Mereka menyatakan bahwa ini termasuk jihad, lalu menghalalkan harta, jiwa serta melaksanakan amalan jihad menentang pemerintah atau penguasa yang dianggap kafir, dengan anggapan mendapatkan pahala atas perbuatan tersebut.
Sudah pasti, fenomena pemboman, pembunuhan dan penculikan tersebut menimbulkan kekacauan, ketakutan dan ketidak amanan. Serta menyebabkan orang-orang dalam keadaan takut dan tidak tenang. Karena, orang yang ingin masuk ke dalam bengunan pemerintah atau selainnya, menjadi takut bila terjadi peledakan di bangunan tersebut. Jika mengendarai kendaraan, maka ditakutkan terjadi penculikan, pembunuhan atau peledakan atas mobilnya. Jika bepergian dengan pesawat, mengkhawatirkan pesawat tersebut sebelumnya telah direncanakan dibajak atau diledakkan. Demikianlah, sehingga kehidupanpun berhenti, orang tidak dapat bekerja dengan lapang dan tenang.

Disini mesti kita pertanyakan, mengapa dibunuh dan diculik? Apakah karena kekufuran dan kemurtadannya? Atau karena ia telah merampas harta, kehormatan dan agama? Apakah ia telah diminta bertaubat? Siapa yang telah memintanya bertaubat? Apakah tidak memungkinkan terjadinya pembunuhan terhadap orang lain ketika penculikan tersebut? Kemudian apa maslahat yang dicapai darinya? Dan apakah dibolehkan khianat? Seluruh pertanyaan ini dan yang lainnya, harus dijawab sebelum melaksanakan operasi seperti ini.

Syaikh Shalih As Sadlaan menyatakan: "Ketika mereka berangkat membunuh jiwa-jiwa untuk mewujudkan keinginan mereka, yaitu menyusahkan pemerintah, lalu mereka menghalalkan darah orang-orang Islam yang masih memberikan loyalitas kepada pemerintah dan bekerja di departemen pemerintahan. Terkadang mereka orang-orang Islam yang shalat. Mengapakah mereka menghalalkan darahnya? Karena pemerintah tersebut tidak berhukum dengan syari’at Allah?! Karena pemerintah itu berhukum dengan undang-undang buatan manusia, dan karena pemerintah itu memperbolehkan keberadaan minuman keras di negerinya dan perzinahan secara terang-terangan di negerinya?!"[2]

Beliau menyatakan lagi:
Kita bertanya kepada mereka yang melakukan perbuatan seperti ini. Apa kejahatan mereka? Apa yang mereka dapatkan dari aksi ini? Dan apa hasil yang dicapai dari pembunuhan jiwa muslim? Padahal dijelaskan dalam hadits:

لذَهَابُ الدُّنْيَا كلهَا أَهْوَنُ مِنْ سَفْكِ دَمِّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ ِ

"Hancurnya seluruh dunia lebih ringan dari penumpahan darah seorang muslim".[3]

Sungguh mereka yang melakukan perbuatan itu tidak mampu mengukur atau melihat hasilnya tersebut. Kami mengajak mereka untuk menjelaskan hasil sejak pertama memberontak kepada pemerintah dan akibat yang terjadi dari perbuatan merusak, seperti pemboman, pembunuhan dan pembajakan serta yang sejenisnya. Bukankah hasil yang dirasakan adalah kerusakan dan madharat yang besar kepada orang umum dan khusus? Sungguh kerusakan yang dihasilkan akibat manhaj ini jauh lebih besar dari kemaslahatan yang mereka inginkan, jika disana ada maslahat yang mu’tabar.[4]

Disini ada permasalahan penting, yaitu sebagian orang memandang perbuatan ini termasuk bagian dari jihad. Dan pelakunya, seperti pemboman atau pembunuhan tersebut, jika terbunuh maka dianggap syahid di jalan Allah. Untuk menjelaskan masalah ini, dan apakah termasuk mati syahid, maka wajib bagi kita untuk mengetahui, apa yang dimaksud mati syahid di jalan Allah?

Syaikh Abu Bakar Al Jazairi, juru nasihat Masjid Nabawi di Madinah berkata: “Apabila terjadi, seorang mujahid terbunuh di medan pertempuran yang terjadi antara kaum muslimin dengan musuhnya, yaitu orang kafir, maka terdapat dua keadaan. Pertama. Kaum muslimin menyerang negeri kafir untuk memasukkan penduduknya ke dalam rahmat Allah, yaitu Islam agama Allah dan kebahagian dunia akhirat. Kedua. Orang kafir menyerang negeri kaum muslimin, seperti perang Uhud, lalu kaum muslimin melawannya, sehingga orang yang gugur dalam perang tersebut sebagai orang yang mati syahid.

Maka yang kedua ini seperti yang pertama, yaitu menurut syari’at termasuk mati syahid, sehingga tidak dimandikan, tidak dikafani dan tidak dishalatkan, serta dikuburkan bersama darah dan pakaiannya tersebut. Di sisi Allah, mereka ini hidup dan tidak mati, berdasarkan firmanNya, yang artinya: "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb-nya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikanNya kepada mereka". [Ali Imran :169, 170].

Disana terdapat satu syarat yang harus ada pada kedua keadaan tersebut. Yaitu, peperangan tersebut harus dengan izin imam kaum muslimin dan di bawah panji penglima mereka. Seandainya seorang muslim berperang sendirian, atau bersama beberapa orang tanpa izin imam kaum muslimin, maka peperangan tersebut batil. Jika ia mati, maka tidak dianggap syahid selamanya. Hal itu karena kurangnya syarat, (yakni) izin imam tersebut. Apalagi jika disana terdapat perjanjian damai antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir tersebut untuk gencatan senjata dan tidak saling mengganggu.

Dari sini, maka pembunuhan dan pemboman yang membunuh anak kecil, orang tua, laki-laki atau perempuan yang dilakukan sebagian pemuda Islam di negeri kaum muslimin, dan dilakukan dengan membawa syi’ar jihad dan memerangi orang zhalim yang tidak berhukum dengan hukum Islam, serta menuntut penerapan hukum Islam dan menegakkan pemerintahan Islam, semuanya adalah amalan yang batil dan rusak. Sama sekali tidak bisa dibenarkan penisbatannya kepada Islam, syari’at Allah dan agamaNya yang benar. Demikian juga, serorang muslim tidak dibolehkan membenarkan dan mendukungnya, meskipun dengan satu kata atau satu dirham. Itu semua hanyalah kezhaliman, kejelekan dan kerusakan di muka bumi ini.

Lebih dari itu -demi Allah- sama sekali tidak akan menumbuhkan kebaikan, apalagi mewujudkan hukum Islam dan pemerintahan Islami. Kenyataan telah membuktikannya. Karena jalan mewujudkan hukum Islam dan pemerintahan Islamiyah, ialah dengan cara masyarakat dan umat ini menyerahkan dan menghadapkan hati dan wajah mereka kepada Allah, sehingga hati dan jiwa mereka menjadi suci, terwujud persatuan dan lurusnya perkara mereka. Hal ini tampak pada kebangkitan mereka melaksanakan kewajiban, meninggalkan yang haram, memenuhi cahaya ilmu Ilahi pada diri mereka dan seluruh aspek kehidupan mereka.

Wahai hamba Allah! Inilah jalan menuju penerapan hukum Islam dan mewujudkan pemerintahan Islami.

Pandangan selayang kepada sirah (sejarah) Rasulullah dan sahabatnya mendukung hakikat ini dan mengharuskannya. Sungguh, Nabi n menghabiskan 13 tahun di Mekkah setelah kenabiannya, dengan merasakan gangguan, penentangan dan kecongkakan orang-orang musyrik. Tidak pernah sekalipun Beliau mengatakan kepada salah seorang sahabatnya “Culik fulan!” atau “Bunuh fulan”. Lalu Beliau berhijrah membawa agama dan dirinya ke Madinah, tinggal dan menetap disana. Dan tidak pernah memerintahkan seseorang dari sahabatnya untuk membunuh atau menculik seorang dari musuhnya, sampai turun perintah Allah untuk itu dalam firmanNya, yang artinya: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnaya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Al Hajj:39). Itu setelah terbentuk satu umat di bawah kepemimpinan Beliau yang bijaksana.

Ini hukum umum. Hendaklah kaum muslimin mengetahuinya, khususnya para ulama mereka yang memilih bolehnya hukum pengeboman dan penculikan ini, dan perbuatan yang menghasilkan pertumpahan jiwa, dan terpenuhinya penjara-penjara serta kejadian-kejadian yang mencoret Islam dengan aib dan kejelekan. Islam berlepas diri dari itu semua”.[5]

Demikianlah mati syahid di jalan Allah, sebagaimana dijelaskan Syaikh Abu Bakar Al Jazairi. Tidaklah ada setelah kebenaran, kecuali kesesatan!

Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya: Apakah gerakan bawah tanah disyari’atkan dalam Islam? Khususnya di negeri yang Islam dan kaum muslimin ditekan?

Beliau menjawab: “Allah berfirman, yang artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Al Baqarah : 286) dan : Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (At Taghabun : 16).

Kaum muslimin dengan para musuhnya, memiliki dua keadaan. Pertama. Kaum muslimin tidak memiliki negara yang melindungi mereka dan tidak memiliki kekuatan yang membela mereka dari para musuhnya. Pada keadaan seperti ini, wajib bagi kaum muslimin berdakwah kepada Allah dan menjelaskan Islam dengan lisan saja, sebagaimana keadaan kaum muslimin bersama Nabi di Makkah sebelum hijrah. Dalam keadaan seperti ini, mereka tidak boleh melakukan penculikan dan gerakan bawah tanah yang menyeret kepada kemudharatan dan dijajah musuh. Karena, mudharat penculikan dan gerakan bawah tanah ini lebih besar dari kemaslahatannya. Kedua. Kaum muslimin memiliki negara dan kekuatan serta kemampuan. Dalam keadan seperti ini, diwajibkan atas mereka dua hal, yaitu berdakwah dan jihad di jalan Allah tanpa dusta dan khianat, seperti keadaan Nabi dan kaum muslimin setelah hijrah ke Madinah.

Pembagian yang saya sampaikan ini diambil dari sirah (sejarah) Nabi bersama kaum kafir. Beliau merupakan contoh teladan bagi kaum muslimin sampai hari kiamat, sebagaimana firman Allah, yang artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. [Al Ahzab:21].

Sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk berhijrah dari negeri kafir ke negeri kaum muslimin jika memungkinkannya. Apabila tidak mungkin, maka ke negeri kafir yang lebih ringan bahayanya terhadap agamanya, sedapat mungkin dalam rangka mempertahankan agamanya”.[6]

CONTOH SEBAGIAN PERUSAKAN DAN HUKUMNYA
Berikut ini kami jelaskan sebagian contoh operasi perusakan yang kita saksikan dan kita dengar setiap hari melalui alat komunikasi, dengan menjelaskan hukumnya dan pendapat para ulama dalam masalah tersebut.

1. Pembunuhan Duta Besar dan Korp Diplomatik.
Tidak boleh membunuh atau merampas harta para duta besar dan korp diplomatik bila masuk ke negara Islam dengan perjanjian keamanan.

Dalam masalah ini, Imam Ibnu Qudamah berkata : “Jika seorang kafir harbi masuk ke negeri Islam dengan perjanjian keamanan, lalu menyimpan hartanya kepada seorang muslim, atau seorang ahli dzimmah, atau menghutangkan keduanya, kemudian ia kembali ke negara kafir harbi, maka kita lihat, jika ia masuk sebagai pedagang atau utusan (delegasi) atau wisata atau karena hajat kebutuhan yang ia tunaikan, kemudian kembali ke negara Islam, maka ia aman dalam jiwa dan hartanya, karena ia tidak keluar demikian dari niat tinggal di negeri Islam, sehingga disamakan dengan ahli dzimmah, jika masuk negeri dengan sebab tersebut.

Seorang duta besar atau delegasi, seperti mukmin, baik ia membawa risalah atau berjalan diantara dua kelompok yang berperang untuk perdamaian, atau berusaha menghentikan peperangan dalam waktu yang memungkinkan untuk memindahkan orang yang terluka dan terbunuh, atau karena tugas-tugasnya sebagai diplomatik, dan juga pada orang yang melaksanakan sesuatu dengan nama diplomatik dalam istilah modern.

Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan hadits Nu’aim bin Mas’ud, bahwa Rasulullah berkata kepada utusan (delegasi) Musailamah :

لَوْلَا أَنَّ الرُّسُلَ لَا تُقْتَلُ لَضَرَبْتُ أَعْنَاقَكُمَا

"Seandainya para utusan (delegasi) boleh dibunuh, tentulah aku akan memotong leher kalian berdua".[7]

Rasulullah, setelah membaca surat Musailamah, berkata kepada kedua utusan tersebut:

مَا تَقُولَانِ أَنْتُمَا قَالَا نَقُولُ كَمَا قَالَ

"Apa pendapat kalian berdua?” Keduanya menjawab: “Kami berpendapat sebagaimana yang ia sampaikan”. Maksudnya, kedua utusan itu mengakui kenabian Musailamah Al Kadzab.

Ketika kaum Quraisy mengutus Abu Rafi’ kepada Rasulullah, lalu masuklah iman ke hatinya, maka ia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي وَاللَّهِ لَا أَرْجِعُ إِلَيْهِمْ وَ أَبْقَى مَعَكُمْ مُسْلِمًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَا أَخِيسُ بِالْعَهْدِ وَلَا أَحْبِسُ الْبُرُدَ فَارْجِعْ إِلَيْهِمْ آمِيْنًا فَإِنْ وَجَدْتَ بَعْدَ ذَلِكَ فِي قَلْبِكَ مَا فِيْهِ الْآنَ فَارْجِعْ إِلَيْنَا

"Wahai, Rasulullah. Saya tidak ingin kembali, dan ingin tinggal bersama kalian sebagai muslim”. Lalu Rasulullah bersabda, “Saya tidak akan melanggar perjanjian, dan tidak akan menahan utusan (delegasi). Maka kembalilah kepada mereka dalam keadaan aman. Jika kamu dapati setelah itu di hatimu apa yang ada sekarang, maka kembalilah kepada kami." [8]

Dalam kitab Al Kharaj, karya Abu Yusuf dan kitab As Siyar Al Kabir, karya Muhammad, terdapat pernyataan: Apabila utusan tersebut memiliki persyaratan, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menunaikannya dan mereka tidak dibenarkan berkhianat terhadap utusan musuh. Meskipun orang kafir membunuhi tawanan muslim yang ditahan mereka, maka utusan mereka tidak boleh dibunuh, dengan dasar sabda Rasulullah:

وَفَاءٌ بِغَدَرٍ خَيْرٌ مِنْ غَدَرٍ بِغَدَرٍ

"Menunaikan sesuatu yang orang lain mengkhianati, lebih baik dari mengkhianati karena dikhianati".

Ibnu Qudamah berkata: “Jika orang yang mendapat keamanan (dari kaum muslimin) di negeri Islam mencuri atau membunuh atau merampok, kemudian kembali ke negaranya di negeri kafir, kemudian pulang kembali dalam keadaan mendapatkan keamanan kedua kali, maka ditunaikan apa yang menjadi keharusannya pada keamanan yang awal”.[9]

Syaikh Ibnu Jibrin ditanya : Apakah diangap membunuh para tokoh negara dan selainnya termasuk khianat? Apakah boleh membunuh orang kafir?

Beliau menjawab: “Tidak boleh membunuh orang yang diberi keamanan (musta’man) atau mu’ahid (yang punya perjanjian keamanan) atau ahli dzimah, apalagi seorang muslim. Telah dijelaskan dalam satu hadits:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يُرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

"Barangsiapa yang membunuh mu’ahid, tidak akan mencium bau syurga".[10]

Jika yang dimaksud kepala negara atau pejabat tinggi, maka dosanya lebih besar. Hal itu karena sudah pasti, yaitu seperti kepala satu perusahan yang besar atau yayasan, sehingga pembunuhannya menimbulkan kerugian terhadap negara. Jika seandainya ia berbuat sesuatu yang mengganggu, maka hal itu dilaporkan kepada mahkamah syari’at untuk diterapkan padanya hukum Allah”.[11]

2. Pembajakan Pesawat Dan Kapal Laut Serta Penyanderaan.
Ini salah satu terorisme dan mengikuti langkah orang-orang jahat, ketika menjadikan orang-orang yang tidak berdosa sebagai perisai dan menyerahkan jiwa-jiwa mereka kepada bahaya, baik mereka itu laki-laki atau perempuan, besar atau kecil, dari kaum muslimin atau orang yang tidak boleh dibunuh. Dalam perbuatan ini terdapat tipuan yang tercela dan merusak keamanan, menghancurkan kemaslahatan negara dan manusia. Pada umumnya, perbuatan ini tidak menghasilkan kemaslahatan yang berarti. Karena itu, kita memandangnya sebagai sesuatu yang terlarang dan kejahatan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

عُذِّبَتْ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ حَبَسَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ قِيْلَ لهَا لَا أَنْتِ أَطْعَمْتِهَا وَلَا سَقَيْتِهَا حِينَ حَبَسْتِيهَا وَلَا أَنْتِ أَرْسَلْتِهَا فَأَكَلَتْ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ

"Seorang wanita diadzab karena kucing yang ia kurung sampai mati, lalu ia masuk neraka karena itu. Dikatakan kepadanya: Tidak kamu beri makan dan minum ketika kamu mengurungnya, dan tidak pula kamu lepas sehingga makan dari serangga tanah".[12]

Perbuatan wanita ini menunjukkan kekerasan hati dan hilangnya rahmat darinya. Sedangkan rahmat tidak hilang, kecuali dari hati orang yang celaka. Perbuatan mereka, tidak lebih baik dari perbuatan wanita tersebut.

Sebaliknya dari kisah di atas, terdapat riwayatkan Al Bukhari dari hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ بِي فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقِيَ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا قَالَ فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

"Ketika seseorang berjalan, lalu merasa sangat dahaga. Kemudian ia turun ke satu sumur dan minum darinya, kemudian keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing menjulurkan lidahnya makan tanah karena kehausan. Lalu ia berkata: “Sungguh anjing ini telah tertimpa seperti yang menimpaku,” maka ia memenuhi khuf (kaus kaki kulitnya), kemudian ia gigit dengan mulutnya, kemudian naik dan memberi minum anjing tersebut. Kemudian Allah menerima amalannya sehingga mengampuninya. Maka para sahabat bertanya: “Wahai, Rasulullah! Apakah kami akan mendapat pahala dari binatang?” Beliau menjawab,”Setiap (memberi minum) makhluk hidup, ada pahalanya." [13]

Wahai, orang yang berakal! Ambillah pelajaran dari semua ini.[14]

Syaikh Ibnu Baz berkata: “Sudah dimaklumi, semua orang yang mempunyai pengetahuan, bahwa pembajakan pesawat dan menghalangi manusia dari bepergian dan lain-lainnya termasuk kejahatan besar dunia yang mengakibatkan kerusakan besar, kemadharatan yang banyak, mengorbankan orang yang tidak berdosa, dan sangat mengganggu mereka.

Sebagaimana telah dimaklumi, madharat dan keburukan kejahatan ini tidak hanya menimpa satu negara saja dan satu kelompok saja, melainkan juga menimpa seluruh dunia. Sudah pasti, demikianlah akibat kejahatan ini. Maka wajib bagi pemerintah dan para pemimpin dari kalangan para ulama dan yang lainnya, agar memberikan perhatian serius dan mengeluarkan segala kekuatan untuk menghentikan kejelekan kejahatan ini dan menghancurkannya.

Allah telah menurunkan kitabNya yang mulia sebagai penjelas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum muslimin, dan mengutus NabiNya Muhammad sebagai rahmat bagi alam semesta, hujjah atas hamba-hambaNya. Allah juga mewajibkan seluruh jin dan manusia untuk berhukum dan mengembalikan hukum kepada syari’at Muhammad, serta mengembalikan perselisihan kepada KitabNya dan Sunnah RasulNya Muhammad, sebagaimana firmanNya, yang artinya: Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An Nisa’:65), dan firmanNya, yang artinya: Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin? (Al Maidah:50), serta firmanNya, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An Nisa’:59).

Para ulama bersepakat, makna mengembalikan kepada Allah, adalah kembali kepada KitabNya yang mulia, dan mengembalikan kepada RasulNya, yaitu kembali kepada Beliau n pada masa hidupnya dan kepada Sunnah Beliau yang shahih setelah wafatnya.

Demikian juga Allah befirman, yang artinya: Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Asy Syura:10).

Seluruh ayat di atas dan yang semakna dengannya menunjukkan wajibnya mengembalikan perselisihan manusia kepada Allah dan RasulNya. Hal itu dengan merujuk kepada hukum Allah dan menghindari semua yang menyelisihinya dalam semua perkara. Yang terpenting lagi seperti perkara yang madharat dan kejelakannya bersifat umum, seperti pembajakan.

Sudah menjadi kewajiban bagi negara yang berhasil menangkap para pembajak untuk menghukum mereka dengan syari’at Allah, karena akibat yang ditimbulkan kejahatan besar mereka berupa hak-hak Allah dan hambaNya, madharat yang banyak dan kerusakan yang besar. Tidak ada solusi yang dapat menghancurkan dan menghentikan keburukannya, kecuali yang ditetapkan Allah dalam KitabNya dan yang disampaikan oleh sebaik-baik makhluk, Nabi Muhammad n . Itulah solusi yang wajib difahami oleh para pembajak, korban pembajak dan orang yang memiliki hubungan dengan mereka serta lainnya. Demikian juga, jika mereka mukmin, hendaknya berlapang dada dengan hukum tersebut. Apabila mereka bukan kaum mukminin, maka Allah telah memerintahkan NabiNya untuk menerapkan hukum pada mereka, sebagaimana firman Allah, yang artinya: dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. ( Al Maidah : 49), dan firmanNya, yang artinya : Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil. (Al Maidah:42).

Berdasarkan keterangan di atas, maka wajib atas negara tempat beradanya para pembajak membentuk komisi yang terdiri dari para ulama syari’at Islam untuk meneliti perkara ini dan mempelajari aspek-aspeknya, serta hukum syari’atnya. Para ulama tersebut memiliki kewajiban untuk menghukumi perkara ini sesuai dengan dalil Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dan memperhatikan penjelasan para ulama tentang ayat muharabah (ayat tentang hukuman bagi pelaku kerusakan di bumi, seperti perampok dll.) dari surat Al Maidah, juga penjelasan para ulama dalam seluruh madzhab dalam bab hukmu qutha’ ath thariq, kemudian mengeluarkan hukum yang dikuatkan dengan dalil-dalil syari’at.

Sedangkan pemerintah (penguasa) yang menjadi tempat berlindung para pembajak, berkewajiban menerapkan hukum syar’i karena taat kepada Allah, mengagungkan perintahNya menerapkan syari’atNya, menghapus kejahatan besar, semangat memberi keamanan dan merahmati korban pembajakan serta menenangkan mereka.

Adapun undang-undang yang dibuat manusia tentang hal itu tanpa bersandar kepada kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, maka semuanya merupakan buatan manusia, dan orang Islam tidak boleh berhukum dengannya. Sebagiannya tidak lebih baik dari yang lainnya untuk dijadikan hukum, karena semuanya termasuk hukum jahiliyah dan hukum thaghut, yang Allah peringatkan dan nasabkan kepada orang munafik yang senang berhukum kepadanya, sebagaimana firman Allah, yang artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (An Nisa’:60-61).

Orang Islam tidak boleh menyerupai musuh-musuhnya (kaum munafiqin) dengan berhukum kepada selain Allah dan menolak hukum Allah dan RasulNya. Tidak boleh juga berhujjah (berdalih) dengan keadaan kebanyakan kaum muslimin sekarang yang berhukum kepada undang-undang buatan manusia, karena hal ini tidak menghalalkan dan menjadikannya boleh. Bahkan itu termasuk kemungkaran yang paling besar, walaupun kebanyakan orang terjerumus padanya. Dan terpuruknya kebanyakan orang pada satu perkara, tidak menunjukkan dibolehakannya (perkara tersebut), sebagaimana firman Allah, yang artinya: Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya dan mereka hanya mengikuti prasangka dan mereka hanya mengira-ngira saja. (Al An’am:116).

Setiap hukum yang menyelisihi syari’at Allah, adalah termasuk hukum jahiliyah. Allah berfirman, yang artinya: Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Al Maidah:50).

Allah mengkhabarkan, bahwa berhukum kepada selain hukum Allah adalah kufur, zhalim dan fasiq dalam firmanNya, yang artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al Maidah:44) dan, Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim. (Al Maidah:45) dan, Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (Al Maidah:47).

Ayat-ayat di atas dan yang semakna, mewajibkan kaum muslimin agar waspada, sehingga tidak berhukum dengan selain hukum Allah, berlepas darinya, bersegera kepada hukum Allah dan RasulNya. berlapang dada dan pasrah menerimanya.

Apabila kejadiannya memiliki madharat yang merata, seperti pembajakan, maka kewajiban merujuk kepada Allah dan RasulNya lebih kuat dari selainnya dan lebih wajib lagi. Karena, Allah adalah Al Hakim Al Khabir, Ahkamul Hakimin, Arhamur Rahimin. Allah mengetahui apa saja yang menjadi kemaslahatan hambaNya, dan menolak madharat dari mereka, serta menghentikan kerusakan pada saat itu atau yang akan datang. Sehingga wajib mengembalikan hukum dalam perkara yang diperselisihkan kepada Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, karena pada keduanya terdapat kecukupan, pelega dan solusi terbaik atas segala permasalahan, serta penghilang semua kejelekan bagi orang yang berpegang teguh kepadanya, istiqamah, menghukum dengannya dan berhukum kepadanya. Sebagaimana telah dijelaskan hal itu dalam ayat-ayat muhkam.

Karena besar dan bahayanya kejahatan ini, saya memandang wajibnya menyebarkan pernyataan seperti ini untuk menasihati umat dan melepas tanggung jawab, serta mengingatkan orang umum akan kewajiban ini. Juga untuk tolong-menolong bersama para pemimpin umat dalam kebaikan dan taqwa”.[15]

Syaikh Ibnu Jibrin ditanya: Sebagian orang melakukan pembajakan pesawat atau kapal laut dengan maksud menekan instansi yang bertanggung jawab terhadap pesawat dan kapal tersebut, dan terkadang mengancam membunuh para penumpangnya. Bahkan kadang-kadang dibunuh langsung hingga tuntutannya dipenuhi. Apa hukum perbuatan ini? Khususnya perbuatan ini membuat ketakukan para penumpang?

Beliau menjawab:
Negara berkewajiban memberikan tindakan prefentif secukupnya, untuk menahan para pemberontak tersebut dan menangkap mereka. Sebagaimana juga wajib menambah personil kelompok penerbang dengan orang yang dapat melindungi mereka, dan dapat melawan orang-orang yang berusaha membajak tersebut. Demikian juga, mereka harus melakukan pemeriksaan yang sempurna sebelum terbang, jangan membiarkan seorangpun melewati satu tempat, kecuali setelah dipastikan tidak membawa senjata atau hanya sekedar besi, kecuali setelah diketahui. Walaupun demikian, sebagian kejadian dapat dilakukan dengan upaya penyelamatan yang dilakukan sebagian pilot dengan merubah arah penerbangan. Sehingga bila disana ada tentara atau penumpang yang mampu mengalahkan mereka, maka rencana para pembajak tersebut bisa digagalkan.

Sudah pasti pembajakan ini merupakan kesalahan, kebodohan, kesesatan di luar batas, mengganggu keamanan para penumpang dan mengancam dengan sesuatu, yang para penumpang tersebut tidak mampu melaksanakan dan menunaikannya. Wallahu a’lam.

3. Bom Bunuh Diri. [17]
Yazid bin Abi Habib meriwayatkan dari Aslam Abu Imran, beliau berkata:

غَزَوْنَا الْقُسْطَنْطِينِيَّةَ وَعَلَى الْجَمَاعَةِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَالرُّومُ مُلْصِقُو ظُهُورِهِمْ بِحَائِطِ الْمَدِينَةِ فَحَمَلَ رَجُلٌ عَلَى الْعَدُوِّ فَقَالَ النَّاسُ مَهْ مَهْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يُلْقِي بِيَدَيْهِ إِلَى التَّهْلُكَةِ فَقَالَ أَبُو أَيُّوبَ سُبْحَانَ الله! إِنَّمَا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِينَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ لَمَّا نَصَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ وَأَظْهَرَ الْإِسْلَامَ قُلْنَا هَلُمَّ نُقِيمُ فِي أَمْوَالِنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ فَالْإِلْقَاءُ بِالْأَيْدِي إِلَى التَّهْلُكَةِ أَنْ نُقِيمَ فِي أَمْوَالِنَا وَنُصْلِحَهَا وَنَدَعَ الْجِهَادَ فَلَمْ يَزَلْ أَبُو أَيُّوبَ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى دُفِنَ بِالْقُسْطَنْطِينِيَّةِ فَقَبْرُهُ هُنَاكَ.

"Kami memerangi Konstantinopel yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Khalid bin Al Walid. Sedangkan tentara Rumawi menyandarkan punggung mereka ke tembok kota (menanti kaum muslimin menyerang). Lalu ada seorang yang menyerang musuh sendirian. Orang-orang berkata: “Mah mah!! La ilaha illallah, ia ingin menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan!” Abu Ayyub berkata: “Subhanallah! Ayat ini turun pada kami, kaum Anshar, ketika Allah memenangkan NabiNya dan agamaNya,” kami menyatakan: “Marilah kita urusi harta kita, lalu turunlah firman Allah: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al Baqarah:195)”. Menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan adalah dengan berdiam mengurusi harta dan mengembangkannya dan meninggalkan jihad di jalan Allah. Lalu Abu Ayyub terus berjihad di jalan Allah sampai dikubur di Konstantinopel dan kuburannya ada disana".

Abu Ayyub mengkhabarkan kepada kita, bahwa menjatuhkan diri sendiri dalam kebinasaan itu adalah meninggalkan jihad di jalan Allah, dan ayat turun berkaitan dengan hal itu. Diriwayatkan semisal ini dari Hudzaifah, Al Hasan, Qatadah, Mujahid dan Adh Dhahak. Imam At Tirmidzi meriwayatkan yang semakna dengan hadits ini, dan berkata: “Ini hadits hasan gharib shahih”.

Para ulama berselisih pendapat tentang seseorang yang dalam peperangan melakukan penyerangan terhadap musuh sendirian. Al Qasim bin Mukhaimarah, Al Qasim bin Muhammad dan Abdul Malik dari ulama madzhab Malikiyah berpendapat, seseorang diperbolehkan sendirian menyerang tentara yang banyak jika memiliki kemampuan dan niatnya ikhlas untuk Allah. Apabila tidak memiliki kekuatan, maka itu termasuk menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan. (Tahlukah). Sedangkan yang lain ada yang berpendapat, jika menginginkan mati syahid dan berniat ikhlas, maka menyeranglah. Karena, maksudnya ia menyerang seorang dari mereka, dan itu jelas dalam firmanNya, yang artinya: Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah (Al Baqarah:207).

Ibnu Khawaiz Mandad berkata: “Apabila seseorang menyerang seratus atau sejumlah tentara atau sekelompok maling dan perampok serta khawarij, maka memiliki dua keadaan. (Yaitu) jika ia tahu dan diperkirakan ia akan membunuh yang diserang dan ia selamat, maka itu baik. Demikian juga seandainya ia tahu atau diperkirakan ia akan terbunuh [18], namun akan merusak atau memberikan bala’ (kepada musuh) atau memberikan pengaruh yang bermanfaat bagi kaum muslimin, maka boleh juga.

Al Qurthubi berkata,”Telah sampai berita kepada saya, bahwa tentara kaum muslimin, ketika berjumpa dengan tentara Persia, kuda-kuda perang kaum muslimin lari karena ada gajah. Lalu seorang dari mereka sengaja membuat patung gajah dari tanah dan membiasakan kudanya sampai terbiasa (melihat gajah). Ketika esoknya kudanya tidak lari dari gajah, lalu ia menyerang gajah yang menyerangnya. Maka ada yang menyatakan, ‘Sungguh ia akan membunuhmu,’ maka ia menjawab,’Tidak mengapa aku terbunuh asal kaum muslimin menang’.”

Demikian juga pada perang Yamamah. Ketika Banu Hanifah berlindung di Hadiqah, seorang muslimin (yaitu Al Bara’ bin Malik) berkata: “Letakkan saya di Al Juhfah, dan lemparkan saya kepada mereka,” lalu mereka lakukan dan ia memerangi Banu Hanifah sendirian, dan berhasil membuka pintu bentengnya.

Saya (Al Qurthubi) berkata,”Termasuk dalam masalah ini juga, diriwayatkan bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,’Bagaiman pendapatmu jika saya terbunuh di jalan Allah dengan sabar dan mengharap pahala?’ Beliau menjawab,’Engkau mendapat Syurga’. Lalu ia terjun ke tengah-tengah musuh sampai terbunuh”.

Al Qurthubi berkata lagi: “Muhammad bin Al Hasan berkata: ‘Seandainya seorang sendirian menyerang seribu kaum musyrikin, maka tidak mengapa selama ia masih berharap selamat atau memberikan kekalahan kepada musuh. Apabila tidak demikian, maka itu dilarang. Karena, ia membiarkan dirinya untuk binasa tanpa memberi manfaat kepada kaum muslimin. Jika tujuannya untuk memotivasi kaum muslimin agar berani menyerang mereka, sehingga berbuat seperti yang ia perbuat, maka tidak jauh dari kebolehan dan karena ada kemanfaatan kepada kaum muslimin pada sebagian aspek. Adapun bila tujuannya menanamkan ketakutan pada musuh dan untuk menampakkan ketabahan dan kehebatan kaum muslimin dalam agamanya maka tidak jauh juga dari kebolehan. Apabila ada padanya kemanfaatan bagi kaum muslimin, lalu jiwanya hilang untuk kemulian agama dan merendahkan kekufuran, maka inilah kedudukan mulia, yang Allah memuji kaum mukminin dengan firmanNya, yang artinya: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka. (At Taubah:111), dan yang lainnya dari ayat-ayat pujian Allah bagi orang yang berbuat demikian.

Berdasarkan hal ini, sudah sepatutnya hukum amar ma’ruf nahi munkar diharapkan memberikan manfaat pada agama, maka memperjuangkannya sampai mati merupakan derajat tertinggi orang yang mati syahid. Allah berfirman, yang artinya : Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Luqman:17).

Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda:

أَفْضَلُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ وَ رَجُلٌ تَكَلَّمَ بِكَلِمَةِ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ فَقَتَلَهُ

"Seutama-utama orang yang mati syahid adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib dan orang yang menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang jahat, lalu pemimpin itu membunuhnya".[19]

Adapun membunuh sebagian tentara dan masyarakat dalam operasi seperti ini dengan kondisi kita sekarang ini, maka ia termasuk mengikuti jalan para pelaku kejahatan, karena semua itu tidak lepas dari tipu daya yang diharamkan, menimbulkan gangguan dan madharat terhadap orang yang tidak berdosa, tanpa kemaslahatan yang mu’tabar.

Syaikh Ibnu Jibrin ditanya : Ada seseorang yang mengikat dirinya dengan bom, kemudian masuk ke bangunan pemerintah atau non pemerintah, atau masuk ke kerumunan manusia yang berisi orang kafir dan yang lainnya, kemudian meledakkan dirinya. Bagaimana hukum perbuatan ini? Apakah perbuatan seperti ini dianggap jihad? Apakah pelakunya dapat dikatakan syahid, ataukah dianggap bunuh diri?

Beliau menjawab : “Secara zhahir itu termasuk bunuh diri, karena ia yakin jika hal itu akan membunuh dirinya sendiri sebelum yang lainnya. Namun terkadang dibolehkan jika dilakukan di wilayah kafir harbi, dan ia tahu akan terbunuh di tangan musuh tersebut, baik cepat atau lambat, atau akan mendapatkan adzab yang keras. Dan tidak mendapatkan jalan keluar, kecuali meledakkan dirinya dan membunuh selainnya dari kalangan musuh yang menyiksa kaum muslimin, sehingga dari mereka terbunuh sejumlah orang yang dapat melemahkan kekuatan mereka, atau mengurangi gangguan dan memberikan rasa takut atas mereka. Terkadang hal itu dimubahkan walaupun membunuh dirinya sendiri, jika ia tahu pasti akan dibunuh atau dijajah, lalu bermaksud melepaskan gangguan dan menyelamatkan dirinya. Perkaranya diserahkan kepada Allah.

Beliau ditanya lagi : Sebagian orang menyatakan dibolehkannya meledakkan diri sendiri dengan menganalogikan kepada kisah Ghulam Ukhdud. Bagaimana jawaban dalam hal itu?[20]

Dalam hal ini tidak ada Qiyas (analogi). Dalam kisah ghulam tersebut tidak ada bunuh diri. Yang ada, mereka membawanya untuk melemparkannya dari atas gunung, lalu Allah menyelamatkan. Kemudian mereka membawa ke laut untuk ditenggelamkan, dan Allah juga menyelamatkannya. Kemudian, ketika ia mengetahui bahwa mereka terus berusaha membunuhnya dan pasti membunuhnya dengan segala cara yang mereka miliki, dengan mengucapkan Bismillahi Rabbi Al Ghulam, maka ia berkata: “Kalian tidak akan bisa membunuhku sampai melakukan apa yang aku perintahkan. Kumpulkan orang di lapangan luas, kemudian ucapkan “Bismilahi Rabbi Al Ghulam”, kemudian panahlah aku”. Dia bermaksud memperdengarkan penyebutan nama Allah kepada orang-orang agar beriman sebagaimana akhirnya terjadi.

Adapun pemboman ini bersandar pada bunuh diri, walaupun maksudnya mencelakakan dan membunuh musuh. Terkadang bunuh diri yang demikian ini diperbolehkan, jika ia tahu akan diadzab sebelum dibunuh, dan pembunuhannya pasti terjadi. Wallahu a’lam.

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Sebagian orang berkata “Dia melakukan amal jihad dalam bentuk bunuh diri. Contohnya, seorang dari mereka memasang bom dalam mobilnya dan menyerang musuhnya dalam keadaan tahu, ia pasti akan mati dalam kejadian itu?”[21]

Beliau menjawab : “Pendapat saya dalam hal ini, bahwa ia telah bunuh diri dan akan diadzab di neraka jahannam dengan alat yang dipakai bunuh diri tersebut, sebagaimana telah disabdakan Rasulullah dalam hadits yang shahih. Namun orang yang tidak mengetahui dan melakukannya dengan anggapan itu baik dan diridhai Allah, saya berharap Allah mengampuninya, karena ia berbuat dengan ijtihadnya, walaupun saya pandang tidak ada udzur baginya pada zaman sekarang ini, karena bentuk bunuh diri ini telah terkenal dan diketahui orang, dan wajib bagi seseorang untuk menanyakannya kepada ulama, hingga jelas baginya yang benar dari yang tidak benar.

Ajaibnya, mereka membunuh diri mereka sendiri, padahal Allah melarangnya, sebagaimana firmanNya, yang artinya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An Nisa’:29).

Kebanyakan mereka hanya ingin membalas dendam kepada musuhnya dengan segala cara, baik haram atau halal. Sehingga ia hanya ingin melampiaskan dendamnya saja. Kita memohon kepada Allah untuk memberikan kepada kita pengetahuan dalam agama ini dan beramal dengan amal yang Dia ridhai. Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu.

KESIMPULAN
Telah jelas bagi kita, bahwa masalah pemboman, pembajakan, penculikan dan sejenisnya termasuk amalan yang merusak dan ditolak secara agama dan akal. Tidak melakukannya, kecuali pengikut hawa nafsu atau musuh Islam dan kaum muslimin yang tidak menginginkan kebaikan untuk kaum muslimin. Adapun orang yang melakukannya dengan keyakinan pemerintahnya telah kafir, sehingga wajib baginya untuk memberontak, maka demikian ini merupakan pendapat yang menyelisihi agama Allah dan RasulNya, juga menyelisihi amalan para salaf umat ini.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
_______
Footnote
[1]. Diterjemahkan dari kitab Kaifa Nu’alij Waqiana Al Alim? karya Abu Anas Ali bin Husain Abu Lauz, Cetakan Pertama, Tahun 1418 H, tanpa penerbit, hlm. 98-121.
[2]. Syaikh Shalih As Sadlan, Muraja’at Fi Fiqh Al Waqi’ As Siyasi Wal Fikri, disusun oleh Dr. Abdullah Ar Rifa’i, hlm. 78.
[3]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no. 1.395; An Nasa’i, no. 3.997, 3.998 dan 4.000 dari hadits Abdullah bin Amru. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 2.619 dari hadits Al Bara’ bin ‘Azib. At Tirmidzi berkata,”Dalam bab ini ada hadits dari Sa’ad, Ibnu Abbas, Abu Sa’id, Abu Hurairah, Uqbah bin ‘Amir, Abdullah bin Mas’ud dan Buraidah.
[4]. Syaikh Shalih As Sadlan, Muraja’aat Fi Fiqh Al Waqi’ As Siyasi Wal Fikri, disusun oleh Dr. Abdullah Al Rifa’i, hlm. 78.
[5]. Surat kabar Al Muslimun, Edisi 590, Jum’at, 7 Muharram 1417 H atau 24 Mei 1996 M.
[6]. Surat kabar Al Muslimun, Edisi 32.
[7]. Diriwayatkan Abu Dawud, no. 2.761 dari hadits Nu’aim bin Mas’ud, dan Abu Dawud juga, no. 2.762 dan Ahmad dalam Musnad (1/391) dari hadits Abdullah bin Mas’ud. Ahmad Syakir berkata,”Sanadnya shahih.”
[8]. Diriwayatkan Abu Dawud, no. 2.758; Ahmad dalam Musnad (6/8), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, no. 1.630-Mawarid dan Al Hakim (3/598). Syaikh Al Albani berkata dalam Silsilah Ash Shahihah (702),”Isnadnya shahih. Para perawinya seluruhnya tsiqat, para perawi syaikhan, kecuali Al Hasan bin Ali bin Abi Rafi’, dan beliau tsiqat sebagaimana disebutkan dalam kitab At Taqrib. Hadits ini dibawakan Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (11/163); Al Arnaauth berkata,”Isnadnya shahih.”
[9]. Al Mughni, karya Ibnu Qudamah (8/401).
[10]. Diriwayatkan oleh Al Bukhari, 3.166 dari hadits Abdullah bin Umar.
[11]. Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Asy Syaikh Ibnu Jibrin, Al ‘Aqidah (juz delapan) – manuskrip.
[12]. Diriwayatkan oleh Al Bukhari, 3.486 dan Muslim, 2.242 dari hadits Abdullah bin Umar.
[13]. Diriwayatkan Al Bukhari, 2.363 dan Muslim, 2.244.
[14]. Tahshil Az Zaad Li Tahqiq Al Jihad, disusun oleh Sa’id Abdulazhim, hlm. 206 dan 207.
[15]. Makalah Syaikh Bin Baaz yang dipublikasikan dalam Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawi’ah (1/276-289), sebagaimana juga dipunlikasikan oleh Majalah At Tauhid, diterbitkan Anshar As Sunnah Al Muhamadiyah, Mesir, hlm. 8, Edisi 10, Tahun 1393 H.
[16]. Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu Jibrin, Al ‘Aqidah (juz delapan) – manuskrip.
[17]. Tahshil Az Zaad Li Tahqiq Al Jihad, karya Sa’id Abdulazhim, hlm. 302-304.
[18]. Perkiraan kuat akan mendapat kebinasaan, tidak berarti melakukan pembelaan dengan memasang sabuk bom pemusnah. Karena yang wajib atasnya, ialah mencari sebab keselamatan semampunya, dengan tetap berusaha keras memberikan madharat dan gangguan terhadap musuh, meskipun hingga mengantarnya kepada kematian.
[19]. Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Ausath (1/245), Al Hakim (3/195) dan dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 374. Sampai disini penukilan dari Tahshil Az Zaad, Pent.
[20]. Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Asy Syaikh Ibnu Jibrin, (Aqidah juz delapan) –manuskrip.
[21]. Wawancara dengan Syaikh Ibnu Utsaimin yang dilakukan Majalah Ad Dakwah, Edisi 1.598, 28/2/1418H atau 3/7/1997M.

Sunnah,Sumber Agama

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus Nabi Muhammd Shallallahu 'alaihi wa sallam, agar Beliau mengeluarkan manusia dari berbagai kegelapapan menuju cahaya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya, menunaikan amanah, menyampaikan risalah dan menasihati ummat. Sehingga tidaklah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, kecuali agama Islam telah sempurna, nyata, terang-benderang, tidak ada yang menyimpang darinya kecuali pasti binasa.

Kemudian, risalah Islam ini diteruskan oleh generasi-generasi terbaik umat ini. Mereka menerima dan menyampaikan yang dibawa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berupa Al Qur’an dan As Sunnah.

Al Qur’an, kitab suci yang tidak ada kebatilannya semenjak diturunkan, karena memang dijaga oleh Allah Al-‘Aziz (Yang Maha Perkasa), Al ‘Alim (Yang Maha Mengetahui). Dan As Sunnah, merupakan penjelasan Al Qur’an. Seperti telah disepakati oleh seluruh umat Islam yang terdahulu semuanya, bahwa Sunnah Nabi merupakan sumber kedua di dalam syari’at Islam dalam seluruh sisi kehidupan beragama.

Dalam tulisan ini, secara ringkas akan kami sampaikan dalil-dalil dari para ulama tentang kewajiban berpegang dengan Sunnah, dalam seluruh sisi kehidupan. Namun sebelumnya, kami akan menyampaikan arti As Sunnah secara ringkas, agar tidak terjadi salah pemahaman.

Secara bahasa, arti As Sunnah ialah jalan atau ajaran. Meliputi jalan yang baik atau yang buruk. Adapun Sunnah yang dimaksudkan dalam tulisan ini, ialah Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih, yaitu berupa dalil-dalil agama yang datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang bukan berupa Al Qur’an, meliputi qaul (perkataan), fi’il (perbuatan), dan taqrir (penetapan, pengakuan) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam [1]. Yang dimaksudkan dalam tulisan ini bukan Sunnah dalam istilah ahli fiqih, yang semakna dengan mustahab, mandub, tathawwu’, atau nafilah. Juga bukan Sunnah dalam istilah ulama aqidah atau ulama Salaf, yang bermakna ajaran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya, yang lawannya adalah bid’ah. Tetapi Sunnah yang dimaksudkan dalam tulisan ini, yaitu menurut istilah ulama ushul fiqih, sebagaimana di atas. Inilah dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Sunnah merupakan hujjah dan satu sumber agama yang wajib diikuti.

DALIL AL QUR’AN
1. Perintah Mentaati Allah Dan Rasul
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

"Dan taatlah kepada Allah dan RasulNya jika kamu adalah orang-orang beriman". [Al Anfal:1].

Dalam menafsirkan ayat ini, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata: "Sesungguhnya keimanan itu mengajak kepada ketaatan kepada Allah dan RasulNya, sebagaimana jika orang yang tidak mentaati Allah dan RasulNya, maka dia bukanlah seorang mukmin" [2].

Mentaati Allah, yaitu dengan mentaati Al Qur’an, dan mentaati RasulNya ialah dengan mentaati Sunnah Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

2. Berpaling Dengan Tidak Mentaati Allah Dan Rasul, Merupakan Sifat Orang-Orang Kafir.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَالرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

"Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan RasulNya; Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". [Ali Imran:32].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Ini menunjukkan, bahwa menyelisihi Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam thariqah (jalan, ajaran) merupakan kekafiran. Allah tidak menyukai orang-orang yang bersifat dengannya, walaupun dia mengaku dan menyangka pada dirinya bahwa dia mencintai Allah dan mendekatkan diri kepadaNya, sampai dia mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, penutup seluruh rasul, dan utusan Allah kepada jin dan manusia". [3]

3. Perintah Mengembalikan Segala Perkara Yang Diperselisihkan Kepada Allah Dan RasulNya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرُُ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(Nya), dan ulil amri (ulama dam umara’) diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". [An Nisaa:59].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk taat kepadaNya dan taat kepada RasulNya. Allah mengulangi kata kerja (yakni: ta'atilah!) sebagai pemberitahuan bahwa mentaati RasulNya wajib secara mutlak, dengan tanpa meninjau (mengukur) apa yang beliau perintahkan dengan Al Qur’an. Bahkan jika Beliau memerintahkan, maka wajib ditaati secara mutlak, baik yang beliau perintahkan itu terdapat dalam Al Qur’an ataupun tidak. Karena sesungguhnya, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi Al Qur’an dan yang semisalnya". [4]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata: "Kemudian Allah memerintahkan orang-orang beriman agar mengembalikan permasalahan yang mereka perselisihkan kepada Allah dan RasulNya, jika mereka benar-benar orang-orang yang beriman. Dan Allah memberitahu mereka, bahwa hal itu lebih utama bagi mereka di dunia ini, dan lebih baik akibatnya di akhirnya. Ini mengandung beberapa perkara.

Pertama : Orang-orang yang beriman terkadang berselisih pada sebagian hukum-hukum. Perselisihan pada sebagian hukum tidak mengakibatkan mereka keluar dari keimanan (tidak kufur), jika mereka mengembalikan masalah yang mereka perselisihkan kepada Allah dan RasulNya, sebagaimana yang Allah syaratkan. Dan tidak disanksikan lagi, bahwa satu ketetapan hukum yang diterikat dengan satu syarat, maka ketetapan itu akan hilang jika syaratnya tidak ada.

Kedua : Firman Allah "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu", (maksudnya) mencakup seluruh masalah yang diperselisihkan oleh orang-orang yang beriman, berupa masalah agama, baik kecil atau yang besar, yang terang dan yang samar.

Ketiga : Manusia telah sepakat bahwa mengembalikan kepada Allah, maksudnya mengembalikan kepada kitabNya. (Dan) mengembalikan kepada RasulNya adalah mengembalikan kepada diri Beliau di saat hidupnya dan kepada Sunnahnya setelah wafatnya.

Keempat : Allah menjadikan "mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allah dan RasulNya" termasuk tuntutan dan konsekwensi iman. Sehingga jika itu tidak ada, imanpun hilang.[5]

4. Hidayah (Petunjuk) Hanyalah Dengan Mengikuti Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam .

قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَاحُمِّلَ وَعَلَيْكُم مَّاحُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَاعَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ

"Katakanlah: "Ta'atlah kepada Allah dan ta'atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tiada lain kewajiban Rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang". [An Nuur:54].

Dalam menafsirkan ayat “Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk”, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata : "Menuju jalan yang lurus dalam perkataan dan perbuatan. Sehingga tidak ada jalan bagimu menuju petunjuk, kecuali dengan mentaatinya. Tanpa itu, tidak mungkin, bahkan mustahil". [6]

5. Ancaman Keras Terhadap Orang-Orang Yang Menyelisihi Perintah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih". [An Nuur:63].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “FirmanNya ‘Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya’, (perintah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam), yaitu jalan, ajaran, Sunnah, dan syari’at Beliau. Sehingga seluruh perkataan dan perbuatan ditimbang dengan perkataan dan perbuatan Beliau. Yang sesuai dengan itu diterima, dan yang menyelisihinya dikembalikan kepada orang yang mengatakannya atau orang yang melakukannya, siapa pun orang itu”.

Hendaklah orang yang menyelisihi syari’at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, secara lahir atau batin, takut (akan ditimpa fitnah, cobaan, musibah), yakni di dalam hati mereka, yang berupa kekufuran atau kemunafikan atau bid’ah. (Atau ditimpa azab yang pedih), yakni di dunia dengan pembunuhan, had (hukuman), penahanan atau semacamnya". [7]

6. Perintah Mengikuti Wahyu Yang Diturunkan Allah Kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam, Yang Mencakup Al Qur’an Dan As Sunnah.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

اتَّبِعُوا مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَ قَلِيلاً مَا تَذَكَّرُونَ

"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)". [Al A’raf : 3].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan dariNya secara khusus. Dia memberitahukan, barangsiapa mengikuti selainNya, maka dia telah mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya".[8].

Ketahuilah, bahwa yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Al Kitab (Al Qur’an) dan Al Hikmah (As Sunnah), sebagaimana Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ وَمَآأَنزَلَ عَلَيْكُم مِّنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ

"Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al Hikmah". [Al Baqara : 231].

وَأَنزَلَ اللهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ

"Dan Allah telah menurunkan Al Kitab dan Al Hikmah kepadamu". [An Nisaa’:113]

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata: "Allah menyebutkan Al Kitab, yaitu Al Qur’an. Dan menyebutkan Al Hikmah. Aku telah mendengar orang yang aku ridhai, yaitu orang yang ahli ilmu Al Qur’an mengatakan, ‘Al Hikmah adalah Sunnah Rasululloh Shallallahu 'alaihi wa sallam".[9]

7. Wajib Menyerah Terhadap Hukum Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

"Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". [An Nisaa:65].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Allah Subhanahu wa Ta'ala bersumpah dengan diriNya yang mulia, yang suci, bahwa seseorang tidak beriman sehingga menjadikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai hakim di dalam segala perkara. Apa yang Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam putuskan adalah haq, wajib dipatuhi secara lahir dan batin. Oleh karena itu Allah berfirman ‘kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya’. Yaitu jika mereka telah menjadikanmu sebagai hakim, mereka mentaatimu di dalam batin mereka, kemudian tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tunduk kepadanya lahir batin, dan menerimanya dengan sepenuhnya, tanpa menolak dan membantah". [10]

8. Wajib Tunduk Tanpa Pilihan, Terhadap Keputusan Allah Dan Keputusan RasulNya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولَهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةَ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata". [Al Ahzab : 36].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Ayat ini umum dalam segala perkara. Yaitu, jika Allah dan RasulNya telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun menyelisihinya, dan tidak ada pilihan (yang lain) bagi siapapun, tidak juga ada pendapat dan perkataan". [11].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata : "Sesungguhnya tidak ada perbedaan antara keputusan Allah dengan keputusan RasulNya. Orang mukmin tidak ada pilihan untuk menyelisihi keduanya. Dan maksiat kepada Rasul (sama artinya) seperti maksiat kepada Allah. Yang demikian itu merupakan kesesatan yang nyata". [12]

9. As Sunnah Adalah Penjelas Al Qur’an, Maka Keduanya Tidak Bisa Dipisahkan.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

"Dan Kami turunkan Adz Dzikr (peringatan, Al Qur’an) kepadamu, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan". [An Nahl : 44].

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata : "Firman Allah ‘Dan Kami turunkan Adz Dzikr (peringatan) kepadamu -yakni Al Qur’an- agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka -yaitu dari Rabb mereka-‘. Karena pengetahuanmu terhadap makna yang telah Allah turunkan, dan karena keinginanmu terhadapnya dan engkau mengikutinya, dan karena pengetahuan Kami bahwa engkau adalah sebaik-baik makhluk dan penghulu anak Adam, sehingga engkau memerinci apa yang (Al Qur’an) menyebutkan secara global, dan engkau menjelaskan kepada mereka apa yang susah difahami (supaya mereka memikirkan), yaitu memperhatikan diri mereka, kemudian mendapatkan petunjuk, lalu meraih keberuntungan dengan keselamatan di dua negeri (dunia dan akhirat)". [13]

Dengan demikian, orang-orang yang berusaha memisahkan Al Qur’an dengan As Sunnah, dengan sangkaan bahwa sebagian Sunnah bertentangan dengan Al Qur’an atau dengan akal, maka alangkah jauhnya mereka dari akal yang sehat, jalan yang lurus, dan dari iman yang benar!

10. Larangan Mendahului Allah Dan RasulNya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [Al Hujurat : 1].

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata : "Yaitu janganlah engkau berkata sebelum dia ( Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) berkata. Janganlah engkau memerintah sebelum dia (Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) memerintah. Janganlah engkau berfatwa sebelum dia ( Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ) berfatwa. Janganlah engkau memutuskan perkara sebelum dia ( Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam) yang memutuskan perkara padanya dan melangsungkan keputusannya". [14]

DALIL AS SUNNAH
1. Wasiat Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Untuk Berpegang Dengan Sunnahnya Dan Sunnah Khulafaur Rasyidin.
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

"Aku wasiatkan kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah; mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagimu berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan". [HR Abu Dawud, no. 4.607; Tirmidzi, 2.676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah].

2. Kewajiban Mentaati Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, Dan Diantara Penyebab Kebianasaan Umat, Ialah Karena Menyelisihi Para Nabinya.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

"Biarkan aku apa yang aku tinggalkan. Sesungguhnya orang-orang sebelum engkau binasa disebabkan oleh pertanyaan mereka dan penyelisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka. Jika aku melarangmu dari sesuatu, maka jauhilah ia, dan jika aku memerintahkanmu dengan sesuatu, maka lakukanlah semampumu" [HR Bukhari, no. 7.288, dari Abu Hurairah].

3. Apa Yang Diharamkan Oleh Nabi Shallallahu Alihi Wa Sallam Wajib Diterima, Sebagaimana Apa Yang Diharamkan Oleh Allah.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

أَلَا إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلَا يُوشِكُ رَجُلٌ شَبْعَانُ عَلَى أَرِيكَتِهِ يَقُولُ عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْقُرْآنِ فَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَلَالٍ فَأَحِلُّوهُ وَمَا وَجَدْتُمْ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ فَحَرِّمُوهُ أَلَا لَا يَحِلُّ لَكُمْ لَحْمُ الْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ وَلَا كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السَّبُعِ وَلَا لُقَطَةُ مُعَاهِدٍ إِلَّا أَنْ يَسْتَغْنِيَ عَنْهَا صَاحِبُهَا وَمَنْ نَزَلَ بِقَوْمٍ فَعَلَيْهِمْ أَنْ يَقْرُوهُ فَإِنْ لَمْ يَقْرُوهُ فَلَهُ أَنْ يُعْقِبَهُمْ بِمِثْلِ قِرَاهُ

"Ingatlah, sesungguhnya aku diberi Al Kitab (Al-Qur’an) dan (diberi) yang semisalnya (yaitu As Sunnah) bersamanya.
Ingatlah, hampir ada seorang laki-laki yang kenyang berada di atas tempat tidurnya yang dihiasi, dia akan berkata : “Kamu wajib berpegang dengan Al Qur’an ini. Apa yang kamu dapati di dalamnya perkara yang halal, maka halalkanlah ia! Dan apa yang kamu dapati di dalamnya perkara yang haram, maka haramkanlah ia!”
Ingatlah, tidak halal bagi kamu daging keledai jinak, dan (tidak halal) seluruh yang bertaring dari binatang buas, dan (tidak halal) barang temuan milik orang kafir mu’ahid [15], kecuali jika pemiliknya tidak membutuhkannya. Barangsiapa bertamu kepada satu kaum, maka mereka wajib menjamunya. Jika mereka tidak menjamunya, maka dia berhak mengambil dari mereka dengan semisal jamuannya". [HR Abu Dawud, no. 4.604; Tirmidzi, Ahmad, dan Al Hakim dari Al Miqdam bin Ma’di Karib. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].

Dalam riwayat lain dengan lafazh :

يُوشِكُ الرَّجُلُ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يُحَدَّثُ بِحَدِيثٍ مِنْ حَدِيثِي فَيَقُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَلَالٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ وَمَا وَجَدْنَا فِيهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ أَلَّا وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ

"Hampir ada seorang laki-laki yang bersandar di atas tempat tidurnya yang dihiasi, disampaikan kepadanya sebuah hadits dariku, lalu dia akan berkata: “Diantara kami dan kamu ada kitab Allah k . Apa yang kita dapati di dalamnya perkara yang halal, maka kita menghalalkannya. Dan apa yang kita dapati di dalamnya perkara yang haram, maka kita mengharamkannya!”
Ingatlah, sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti apa yang diharamkan oleh Allah". [HR Ibnu Majah, no. 12, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].

4. Mentaati Rasul Merupakan Jalan Ke Surga.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى

"Seluruh umatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan!” Para sahabat bertanya,”Wahai, Rasulullah! Siapakah yang enggan?” Beliau menjawab,”Siapa saja mentaatiku dia masuk Surga, dan siapa saja bermaksiat kepadaku, maka dia benar-benar enggan (masuk Surga).". [HR Bukhari, no. 7.280, dari Abu Hurairah].

5. Berpegang Dengan Al Kitab Dan As Sunnah Merupakan Jaminan Terhindar Dari Kesesatan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

"Aku telah tinggalkan untukmu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya. (Yaitu) Kitab Allah dan Sunnah RasulNya". [Hadits shahih lighairihi, HR Malik; Al Hakim; Al Baihaqi; Ibnu Nashr; Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim Al Hilali di dalam At Ta’zhim Wal Minnah Fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13].

Dari keterangan di atas, jelaslah kedudukan As Sunnah terhadap Al Qur’an. Pertama. Memiliki kedudukan yang sama sebagai sumber agama, karena As Sunnah dan Qur’an, keduanya merupakan wahyu. Kedua. Memiliki kedudukan yang sama sebagai hujjah (argumen) dan wajib untuk diikuti.

Kesimpulannya, Al Qur’an dan As Sunnah adalah dua yang saling menyatu, tidak berpisah. Dua yang saling mencocoki, tidak bertentangan. Al hamdulillahi Rabbil ‘alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
_______
Footnote
[1]. Lihat kitab-kitab ushul fiqih dalam Bab: As Sunnah
[2]. Tafsir Taisir Karimir Rahman, surat Al Anfal : 1
[3]. Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali ‘Imran: 32
[4]. I’lamul Muwaqqi’in (1 atau 2/46), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002 H.
[5]. Diringkas dari I’lamul Muwaqqi’in (2/47-48), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002 H.
[6]. Tafsir Taisir Karimir Rahman, surat An Nuur : 54
[7]. Tafsir Ibnu Katsir, surat An Nuur : 63
[8]. I’lamul Muwaqqi’in (2/46), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Tahun 1422 H / 2002 H.
[9]. Ar Risalah, hlm. 32, 33.
[10]. Tafsir Ibnu Katsir, surat An Nisa’: 65
[11] Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Ahzaab : 36
[12]. Al Hadits Hujjatun Binafsihi, hlm. 33.
[13]. Tafsir Ibnu Katsir, surat An Nahl : 44
[14]. I’lamul Muwaqqi’in (2/49), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H / 2002 H.
[15]. Orang kafir yang ada perjanjian keamanan dengan kaum muslimin

Selasa, 05 Oktober 2010

Dakwah Tauhid Mempersatukan Umat Dan Tidak Memecah Belah

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan




Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya : Sungguh telah menyebar -alhamdulillah- seruan kepada manhaj salaf dan berpegang teguh dengannya, akan tetapi ada orang yang mengatakan: "Sesungguhnya dakwah ini (dakwah salafiyah) tidak lain hanyalah akan memecah belah barisan (kaum muslimin, pent) dan mengkoyak-koyakkan, serta menjadikan sebagian mereka memerangi sebagian yang lain. Sehingga mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri dan meninggalkan (memerangi, pent) musuh-musuh mereka yang hakiki. Apakah ini benar, dan apa nasehat Syaikh?

Jawaban.
Ini adalah pemutarbalikan hakekat (fakta), karena sesungguhnya berdakwah kepada tauhid dan manhaj salaf ash-shalih itulah yang mampu menyatukan kalimat, dan menyatukan barisan (kaum muslimin) sebagaimana firman Allah Ta'ala:

"Artinya : Dan berpegang teguhlah dengan tali Allah secara keseluruhan, dan jangan kalian berpecah-belah." [Ali-Imran: 103]

Dan firman-Nya:

"Artinya : Sesungguhnya ini adadalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Rabbmu, maka beribadahlah kepadaKu." [Al-Anbiya: 92]

Maka tidak mungkin kaum muslimin bisa bersatu kecuali di atas kalimat tauhid dan manhaj salaf, karena apabila mereka dibolehkan memilih manhaj-manhaj yang menyelisihi manhaj salaf maka bercerai berai dan berselisihlah mereka, sebagaimana kenyataannya demikian.

Siapa yang menyeru kepada tauhid dan manhaj salaf, itulah orang yang menyeru kepada persatuan, sedangkan orang yang menyeru (umat) untuk menyelisihi manhaj salaf maka dialah yang menyeru kepada perpecahan dan perselisihan.[1]

Apabila kaum muslimin di atas tauhid dan manhaj salaf, maka mereka berdiri di depan musuh, dalam satu barisan. Dan apabila mereka berpecah-belah dalam berbagai manhaj maka mereka tidak akan mampu menghadapi musuh mereka.

[Disalin dari kitab Al-Ajwibatu Al-Mufiah ?An-As-ilah Al-Manahij Al-Jadidah, edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah, Pengumpul Risalah Abu Abdillah Jamal bin Farihan Al-Haritsi, Penerjemah Muhaimin, Penerbit Yayasan Al-Madinah]
_________
Foote Note
[1]. Sesungguhnya dakwah tauhid menurut "Firqah Tabligh" dan firqah "Ikhwanul Muslimin" adalah merupakan perkara yang membuat manusia lari dan memecah belah umat Islam -menurut sangkaan mereka-. Dan mereka berpendapat bahwa dakwah tauhid itu bukan bagian dari dasar-dasar dakwah. Mereka juga tidak ridha terhadap orang-orang yang menyeru kepada tauhid, bahkan tatkala ada orang yang masuk firqahnya lalu ia membicarakan masalah tauhid, maka mereka akan segera memperingatkannya.

Dan ini adalah kenyataan yang terjadi pada diri ustadz Muhammad Ibnu Abdullah Ibnu Muhammad Al-Ahmad yang telah disebutkan oleh Syaikh Hamud At-Tuwaijiri di dalam kitabnya Al-Qaulul Baligh fit-Tahdziri min Jama'atit Tabligh (hal. 45) dan aku (Abu Abdillah Al-Haritsi) ringkaskan di sini.

"Ustadz Muhammad berkata, "Amir (Amir firqah Tabligh) pernah memintaku untuk memberikan pengarahan kepada para jamaah haji setalah shalat 'Ashar -di mana saya adalah orang yang baru saja ikut khuruj (keluar) bersama jamaah ini-, lalu Amir meminta kepada pembantunya agar memberikan pesan kepadaku, kemudian ia (pembantunya) berkata, "Dalam pembicaraanmu harus dijauhkan dari tiga perkara, -yang disebutkan salah satu di antaranya adalah- : Membicarakan masalah kesyirikan-kesyirikan dan bid'ah-bid'ah, krena sesungguhnya lemahnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah karena terlalu perhatian dalam hal ini."

Saya (Abu Abdillah Al-Haritsi) katakan, "Contoh-contoh dalam hal ini adalah banyak sekali, bukalah kembali kitab tersebut niscaya engkau akan menjumpai hal-hal yang sangat mengherankan.

Adapun firqah "Ikhwanul Muslimin", adalah suatu firqah yang dibangun di ats dasar "pengumpulan" (persatuan) karena mereka mengumpulkan antara berbagai kelompok ahlul bid'ah dan ahlul hawa (pengikut hawa nafsu), sehingga seorang Rafidhah adalah saudara mereka, ia termasuk bagian dan golongan mereka, demikian pula seorang Jahmiyah, Mu'tazilah, Khawarij, Shufiyah, penyembah kubur, ashabul mawalid (para penggemar mauludan), bahkan Yahudi dan Nasrani.

Ambilah bukti-bukti ini:

Berkata Hasan Al-Banna, "Sesungguhnya permusuhan kita dnegan Yahudi bukanlah karena agama, karena Al-Qur'an Al-Karim menganjurkan untuk bersahabat dan berteman dengan mereka." [lihat Ikhwanul Muslimin Ahdasun Suna'ati Tarikh karya Mahmud Abdul Karim, Juz I - hal. 400]

Adapun berkaitan dengan orang-orang Nasrani adalah seperti yang dinukil oleh Jabir Razaq (seorang Ikhwanul Muslimin) di dalam kitabnya "Hasan Al-Banna fi Aqlami Talamidzatihi wa Mu'ashiriihi" hal, 188, dan ucapan Doktor Hassan Hat hut (seorang Ikhwanul Muslimin) dengan tema Tuhmatut Ta'ashub (anggapan sikap fanatik), ia (Hasan Hat hut) berkata, "Apakah tentang "Qanaa" itu? Yaitu suatu acara yang dimulai dengan pesta besar, dan pada puncaknya, ulama kaum muslimin dan para pendeta Nasrani (Mesir) saling berbangga, tercipta rasa kecintaan, keseriusan, dan persaudaraan yang berjalan seperti jalannya aliran listrik... dan dasar disebutkannya pendeta Nasrani di sini adalah karena banyak orang yang berusaha ingin mengesankan bahwa orang ini (Hasan Albana) adalah seorang yang fanatik dalam memerangi Nasrani dalam dakwahnya, atau anggapan bahwa dia seorang yang fanatik dalam memisahkan dua unsur umat ini (yaitu umat Islam dan Nasrani).

Akan tetapi Allah dan orang-orang yang hadir (dalam acara itu) dari kalangan shiddiqin (orang yang benar/jujur) menjadi saksi bahwa yang benar adalah sebaliknya... orang ini (yaitu Hasan Albana) tidak pernah mengajak kepada kebencian dan perpecahan. Dan dia memberi keternagan bahwa dakwah adalah untuk penerapan syariat Islam dan tidak mungkin syariat Islam itu untuk para pendeta, karena syariat akan memperlakukan kita dan mereka
sama.

Sesungguhnya syariat Islam tidak menuntut secara mutlak kenasraniannya orang Nasrani, karena ia hanyalah kumpulan undang-undang/peraturan yang tidak ditemukan di dalam agama Nasrani sebagai penggantinya, dan tidak pula menghapus hukum-hukumnya. Dan seandainya engkau temukan suatu peraturan di dalam Injil kepada orang-orang Nasrani. Dan Islam tidak menemukan kekurangan dalam hal ini. Sesungguhnya selama pendapat mayoritas tidak meniadakan agama minoritas, maka tidak akan ada zhalim dan yang dizhalimi. Sungguh kebenran dakwah orang ini (Hasan Albana) telah mudah diterima oleh bagi orang yang memiliki pemahaman (yang baik), baik dari kalangan kaum muslimin sendiri maupun para pendeta Nasrani... Dan cukup aku ingatkan kepada orang-orang yang menyangka bahwa orang ini (Hasan Albana) memusuhi orang-orang Nasrani, dengan (kenyataan) bahwa: 'Luwais Fanus' ketua para pendeta (ia sekarang sudah meninggal) adalah seorang pendengar setiap pelajaran hari Selasa yang disampaikan oleh Hasan Albana, dan di antara keduannya ada kontak dan persahabatan yang erat.

Dan bahwa: Ketika Hasan Albana dicalonkan dalam "parlemen" pada pemilihan umum wakilnya yang menyertainya dalam jabatan salah satu lajnah pemilu adalah seorang Qibti (orang Mesir yang beragama Nasrani).

Dan bukti lain adalah bahwa, ketika ia (Hasan Albana) dimandikan sewaktu (meninggalk), pemerintah melarang untuk mengumumkan jenazah seorang pun, sehingga tidak ada yang mengiringi jenazahnya, kecuali dua orang saja, yaitu ayahnya dan satu orang lagi, yaitu Mukaram 'Ubaid seorang tokoh
politik beragama Nasrani.

Dan aku (Doktor Hassan Hat Hut) sebutkan pula bahwa ketika kami menjadi mahasiswa, kami mengunjungi perkumpulan pemuda-pemuda Nashara dalam rangka membicarakan masalah sikap Islam terhadap agama Nasrani.", lalu kami keluar (meninggalkan mereka) dan sungguh kami merasa bahwa mereka itu adalah manusia yang paling dekat kasing sayangnya." Selesai ucapannya.

Maka aku (Abu Abdillah Al-Haritsi) katakan: Ucapan semacam ini adalah tidak perlu ta'liq (penjelas) karenahal ini sudah jelas. Aku cukupkan nukilanku terhadap ucapan-ucapan ini, karena sudah panjang lebar nukilan ini, yang aku inginkan tidak lain hanyalah agar semua paham bahwa kaidah "Ikhwanul Muslimin" adalah: PENGUMPULAN UMAT (PERSATUAN) DI BAWAH NAMA ISLAM, TIAK MEMENTINGKAN TASHFIYYAH (PEMURNIAN) AKIDAH. Karena sesungguhnya dakwah tauhid dan manhaj salaf tidak akan menghantarkan kepada persahabatan mereka dengan Yahudi, Nasrani, Rafidhah, Ahli bid'ah, dan para pengikut hawa nafsu yang sesat dan menyesatkan.

Sedang kaidah mereka adalah ucapan Hasan Albana yang masyhur, berkata Doktor Hassan Hat hut, "Dan sebagian dari pengajaran al-Ustadz "Albana" selalu diulang-ulang dan tidak bosan-bosannya adalah ucapannya yang masyhur, yang senantiasa 'hidup' sampai hari ini: "KITA MELANGKAH BERSAMA-SAMA PADA APA YANG TELAH KITA SEPAKATI DAN KITA SALING MEMAAFKAN DALAM HAL-HAL YANG KITA PERSELISIHKAN". [Dari kitab yang telah disebutkan, hal. 190]

Maka ucapan-ucapan ini adalah jelas, nyata-nyata bertentangan dengan kaidah Al-Wala' wa Al-Bara' (loyalitas dan berlepas diri), cinta karena Allah dan benci karena Allah. Aslinya kaidah ini adalah kaidahnya pemilik majalah Al-Manar kemudian ditransfer oleh Ikhwanul Muslimin, karena seusai dengan hawa nafsunya:

Hawa nafsu mendatangiku sebelum aku mengenal hawa Kemudian hawa itu hinggap pada hati yang kosong lalu menancap padanya.

Dan aku (Abu Abdillah Al-Haritsi) tidak memperpanjang penukilan tentang Ikhwanul Muslimin, karena bagi orang yang berakal isyarat-isyarat tersebut telah mencukupinya.

Kamis, 02 September 2010

puasa syawal

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Seorang wanita sudah terbiasa menjalankan puasa enam hari di bulan Syawal setiap tahun, pada suatu tahun ia mengalami nifas karena melahirkan pada permulaan Ramadhan dan belum mendapat kesucian dari nifasnya itu kecuali setelah habisnya bulan Ramadhan, setelah mendapat kesucian ia mengqadha puasa Ramadhan. Apakah diharuskan baginya untuk mengqadha puasa Syawal yang enam hari itu setelah mengqadha puasa Ramadhan walau puasa Syawal itu dikerjakan bukan pada bulan Syawal ? Ataukah puasa Syawal itu tidak harus diqadha kecuali mengqadha puasa Ramadhan saja dan apakah puasa enam hari Syawal diharuskan terus menerus atau tidak ?

Jawaban
Puasa enam hari di bulan Syawal, sunat hukumnya dan bukan wajib berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian disusul dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka puasanya itu bagaikan puasa sepanjang tahun" [Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya]

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa enam hari itu boleh dilakukan secara berurutan ataupun tidak berurutan, karena ungkapan hadits itu bersifat mutlak, akan tetapi bersegera melaksanakan puasa enam hari itu adalah lebih utama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : ..Dan aku bersegera kepada-Mu. Ya Rabbku, agar supaya Engkau ridha (kepadaku)" [Thaha : 84]

Juga berdasarakan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan kutamaan bersegera dan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan. Tidak diwajibkan untuk melaksanakan puasa Syawal secara terus menerus akan tetapi hal itu adalah lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang terus menerus dikerjakan walaupun sedikit"

Tidak disyari'atkan untuk mengqadha puasa Syawal setelah habis bulan Syawal, karena puasa tersebut adalah puasa sunnat, baik puasa itu terlewat dengan atau tanpa udzur.


MENGQADHA ENAM HARI PUASA RAMADHAN DI BULAN SYAWAL, APAKAH MENDAPAT PAHALA PUASA SYAWAL ENAM HARI


Oleh
Syaikh Abduillah bin Jibrin


Pertanyaan
Syaikh Abduillah bin Jibrin ditanya : Jika seorang wanita berpuasa enam hari di bulan Syawal untuk mengqadha puasa Ramadhan, apakah ia mendapat pahala puasa enam hari Syawal ?

Jawaban
Disebutkan dalam riwayat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

"Artinya : Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari bulan Syawal maka seakan-akan ia berpuasa setahun"

Hadits ini menunjukkan bahwa diwajibkannya menyempurnakan puasa Ramadhan yang merupakan puasa wajib kemudian ditambah dengan puasa enam hari di bulan Syawal yang merupakan puasa sunnah untuk mendapatkan pahala puasa setahun. Dalam hadits lain disebutkan.

"Artinya : Puasa Ramadhan sama dengan sepuluh bulan dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan dua bulan"

Yang berarti bahwa satu kebaikan mendapat sepuluh kebaikan, maka berdasarkan hadits ini barangsiapa yang tidak menyempurnakan puasa Ramadhan dikarenakan sakit, atau karena perjalanan atau karena haidh, atau karena nifas maka hendaknya ia menyempurnakan puasa Ramadhan itu dengan mendahulukan qadhanya dari pada puasa sunnat, termasuk puasa enam hari Syawal atau puasa sunat lainnya. Jika telah menyempurnakan qadha puasa Ramadhan, baru disyariatkan untuk melaksanakan puasa enam hari Syawal agar bisa mendapatkan pahala atau kebaikan yang dimaksud. Dengan demikian puasa qadha yang ia lakukan itu tidak bersetatus sebagai puasa sunnat Syawal.


[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, Penerjemah Amir Hazmah Fakhruddin]